Indonesia masih menjadi ladang subur bagi developer software berbayar
Techno.id - Saat ini, tak bisa dipungkiri kalau Indonesia masih menjadi ladang subur bagi pembuat software berbayar. Contohnya, ada Microsoft dengan Microsoft Office-nya. Walaupun ada layanan open source seperti Open Office, masyarakat luas banyak yang bergantung pada produk dari Microsoft itu.
-
90 Persen sekolah di Indonesia ternyata pakai software ilegal, duh! Data yang diungkapkan Microsoft ini tentu menampar muka pendidikan Indonesia.
-
Pegiat open source: 10 Tahun Indonesia terjebak software berbayar Sebut Indonesia sudah 10 tahun lebih terjebak dengan perangkat berlisensi, Onno W. Purbo sayangkan masyarakat masih tak kunjung sadar
-
Office 356, rancangan Microsoft untuk UMKM Indonesia Office 356, penyimpanan awan dari Microsoft yang sengaja dirancang untuk para pelaku UMKM di Indonesia.
Hari S. Sungkari pun memberikan komentarnya terkait susahnya Indonesia melepaskan diri dari gempuran software proprietary seperti dari Microsoft itu. Berdasarkan pandangan dari Sekertaris Jenderal (Sekjen) Masyarakat Industri Kreatif Teknologi dan Informasi Indonesia (MIKTI) itu, Microsoft Office masih lebih unggul dalam beberapa sisi dari Open Office.
"Masing-masing itu, punya kelebihan dan kekurangan, baik itu Microsoft maupun Open Office. Jadi, jangan dipukul rata. Memang, kalau pakai Microsoft kita bayar royalti, sementara Open Office nggak perlu bayar," terangnya pada Merdeka.com (27/10/15).
Namun, Hari menilai Microsoft Office lebih diminati pelaku UMKM dengan alasan efisiensi. Di samping itu, perusahaan swasta juga lebih suka menggunakan software proprietary karena sudah ditanggung oleh technical support-nya. Apalagi software yang sifatnya open source juga banyak yang masih memerlukan pengembangan dan penyempurnaan untuk memenuhi kebutuhan user tertentu.
"Misalnya saja, perusahaan UMKM, saya harus sediakan 10 sampai 20 programer untuk menyiapkan open source itu. Bagi mereka, itu cost lagi. Apalagi kalau basic perusahaanya bukan di TI, misalnya logistik, mending pakai yang software proprietary," imbuhnya.
Di sisi lain, beberapa pihak, terutama dari instansi pemerintahan, sudah berusaha menekan penggunaan software proprietary. Sayang, untuk meminimalkan penggunaan itu belum bisa dilakukan di skala besar.
"Untuk skala pemerintahan bisa ya dan itu sudah ada inisiatifnya sebenernya dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPANRB), tapi untuk diterapkan di skala yang lebih luas belum tentu."
BACA JUGA :
(brl/red)