Rupiah melempem, vendor smartphone ‘sunat’ biaya promosi
Techno.id - Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat mempengaruhi berbagi sektor industri. Produsen smartphone dan tablet asal Indonesia mengaku telah merasakan imbas dari melempemnya nilai rupiah yang berlangsung sejak beberapa waktu terakhir.
Sebenarnya para produsen smartphone Indonesia, seperti Advan lebih banyak mengimpor komponen dari China yang bernasib sama seperti rupiah, yuan juga sedang melemah terhadap dollar AS. Namun, hal tersebut bukan lantas membuat Advan mepunyai keleluasaan lebih untuk mengimpor komponen lebih banyak.
"Tetap kena dampak dari tingginya nilai dolar Amerika walaupun rupiah sama yuan sama-sama kena imbas. Soalnya, pembelian kami kan tetap saja menggunakan dollar," ujar Marketing Director Advan, Tjandra Lianto saat dijumpai tim Techno.id.
Sayangnya, kata Tjandra, pihak perusahaannya masih tidak bisa serta merta menaikan harga jual akibat pelemahan rupiah. Sebab, Advan identik sebagai vendor gadget di harga Rp 1 juta sampai Rp 2 jutaan yang mana segmen pasar tersebut sangat sensitif dengan adanya perubahan harga.
-
Advan: Naikkan harga produk itu tak populis Vendor gadget asal Indonesia ini mengaku tidak akan mengambil tindakan menaikkan harga barang buatannya yang telah hadir di pasaran.
-
Gawat, dolar melambung bikin Lenovo berencana naikkan harga produk "Akan kami review dulu sedikit ke depan, dan hal yang sama juga pasti dilakukan oleh pemain lain."
-
Peluang terbuka lebar, Advan gencar penetrasi pasar smartphone "Selama 2 tahun kami menganalisa industri smartphone dan hari ini dideklarasikan Advan mulai masuk ke industri smartphone yang sesungguhnya."
Perusahaan itu pun kemudian menerapkan efisiensi promosi sebagai upaya netralisir kondisi yang sedang kurang sehat tersebut. Tjandra menjelaskan, periode 2013-2014, Advan melakukan promosi yang bertujuan memperkuat branding melalui kerjasama dengan beberapa pihak tertentu misalnya.
Kebijakan perusahaan itu membuat pembagian 70 persen biaya promosi saat periode tersebut digunakan untuk kegiatan memperkuat branding. Sementara, 30 persennya untuk kegiatan hard selling alias penjualan yang lansung menyasar pasar yang lebih spesifik.
"Sekarang dibalik, 70% untuk hard selling, sisanya 30% untuk branding. " Strategi seperti ini (hard selling) yang bisa menggaet konsumen langsung banyak, seperti peluncuran Advan M6 ini yang langsung menyasar segmen pasar kalangan muda, tandas Tjandra.
Langkah itu dianggap aman karena perusahaan yang memulai bisnis sebagai pembuat notebook itu menilai produk Advan saat ini sudah cukup dikenal masyarakat. Jadi, ditengah kondisi seperti saat ini, melancarkan strategi hard selling terbilang logis.
Keberadaan pabrik di Indonesia juga disebutkan dapat menjadi katalisator dalam menghadapi pelemahan kurs. Advan sudah memiliki pabrik di Indonesia. "Pabrik sudah mulai berjalan bulan 4 kemarin, tapi masih tahap uji coba. Karena sebelumnya hanya dipakai untuk notebook sekarang smartphone jadi perlu penyesuaian," tutup Tjandra.
BACA JUGA :
(brl/red)