Jika AS tutup pintu untuk imigran, perusahaan ini mungkin tak akan ada
Techno.id - Pernyataan dari Donald Trump beberapa waktu lalu yang mengusulkan agar Amerika Serikat melarang imigran Muslim masuk ke wilayah Negeri Paman Sam memang kontroversial. Sebab, usulan tersebut cukup ganjil kalau melihat akar AS yang notabene adalah tanahnya para imigran.
-
Dibesarkan di keluarga Yahudi, CEO Facebook kukuh bela Muslim Lewat sebuah post di akun pribadinya, Mark Zuckerberg menjamin Facebook akan menerima dan membela hak Muslim.
-
15 Aksi protes terhadap larangan muslim masuk AS ini menyentuh hati Ini semua karena kebijakan Donald Trump yang menuai kontroversi.
-
Sahabat dekat Trump ini tak setuju larangan muslim ke AS Piers mengaku jika berat rasanya memberikan pernyataan ketidaksetujuannya kali ini karena telah berteman hampir satu dekade dengan Trump.
Meski banyak pihak yang menentang pandangan itu, termasuk CEO Facebook, mari sedikit berandai-andai jikalau AS benar-benar menutup pintu untuk para imigran. Salah satu kejadian yang mungkin terjadi ialah sejumlah perusahaan teknologi informasi yang sekarang tumbuh besar dan mengangkat hajat hidup umat manusia tak akan lahir. Ya, Anda tak salah duga, ada beberapa perusahaan TI yang juga didirikan oleh seseorang yang berstatus sebagai imigran.
Berikut daftar yang sudah dirangkum dari BusinessInsider (18/04/15):
Google berdiri karena imigran dari Uni Soviet
Datang ke Amerika Serikat saat berumur 6 tahun, Sergey Brin mengalami masa-masa sulit untuk beradaptasi di lingkungan barunya itu. Ibunya bahkan menyebut tahun pertama Sergey di AS adalah momen yang berat baginya karena ia kesulitan berkomunikasi dan memiliki aksen yang asing.
Berkat kegigihannya untuk belajar budaya AS dan juga Bahasa Inggris, Sergey yang datang dari Uni Soviet akhirnya bisa meraih gelar PhD-nya dan bertemu dengan Larry Page. 17 tahun lalu, mereka bekerja sama membangun Google hingga kini telah menjelma sebagai raksasa teknologi ternama di dunia.
Yahoo dibangun dari tangan pendatang asal Taiwan
Jerry Yang mempunyai kisah unik sendiri sebagai imigran di negara penganut ideologi demokrasi itu. Ia pindah dari Taiwan ke AS pada 1976 di usia 8 tahun. Saat itu, kata Bahasa Inggris yang diketahui Jerry hanya 'shoe' atau 'sepatu'. Tiga tahun kemudian, ia belajar Bahasa Inggris sampai akhirnya bisa lancar.
Setelah menyelesaikan pendidikan master-nnya, Jerry berjumpa dengan David Filo. Bahu-membahu, mereka mendirikan Yahoo. Perusahaan itu pun tercatat pernah menjadi portal internet terbesar di era 90-an.
Kini, Jerry memang telah meninggalkan Yahoo, tetapi ia tetap tak menjauh dari industri teknologi ataupun Silicon Valley.
WhatsApp dilahirkan oleh lelaki yang datang dari Ukraina
Jan Koum menginjakkan kakinya pertama kali di Negeri Paman Sam ketika berusia 16 tahun. Ia beserta keluarganya datang dari Ukraina dan di AS mereka awalnya menjadi pekerja kasar.
Kendati kondisinya sulit, Koum masih sempat belajar jaringan komputer secara otididak dari buku bekas yang ia beli. Tak cuma mengenyam pendidikan di San Jose State University, ia juga pernah menjadi karyawan Yahoo sampai 2007.
Tahun 2009, Koum dan Brian Acton melahirkan WhatsApp, sebuah platform pesan instan. Karyanya membuat raksasa sekelas Facebook tergiur dan kemudian mengakuisisinya lima tahun kemudian. Kini, pengguna WhatsApp sedunia ada sekitar 900 juta.
SanDisk susah payah dibesarkan oleh imigran India
Lahir dan dibesarkan di India, Sanjay Mehrotra akhirnya berkesempatan melanjutkan studi di Amerika Serikat di usianya yang ke-18 tahun. Namun, ia harus berusaha dan berdoa lebih, karena konsulat AS sempat menolak pengajuan visanya hingga tiga kali.
Pasca mendapat gelar master, Sanjay bekerja untuk Intel. Di sanalah, ia bertemu dengan Eli Harari, yang di kemudian hari menjadi partner-nya dalam membangun SanDisk.
Tahun 1988 SanDisk resmi berdiri dan telah berbicara banyak di sektor teknologi sebagai produsen flash memory kelas dunia. Oktober lalu, Western Digital mengakuisisi SanDisk dengan mahar Rp262 triliun.
PayPal jadi besar berkat kegigihan pria kelahiran Ukraina
Lahir di Ukraina dan bermigrasi ke AS di usia 16 tahun tak serta merta membuat hidup Max Levchin di tanah perantauan itu nyaman. Apalagi, perekonomian keluarganya saat itu juga mengenaskan.
Tak mau menyerah dengan keadaan, Max mempelajari kultur AS dengan menikmati acara yang disiarkan di TV. Televisi itu sendiri ia dapat dari tempat pembuangan sampah dan kemudian ia perbaiki.
Di tahun 1998, Max mendirikan PayPal bersama Peter Thiel dan Elon Musk. Penyedia layanan transfer uang itu sudah tercatat sebagai salah satu perusahaan pembayaran internet terbesar di dunia.
(brl/red)