Amygdala ternyata dapat memprediksi stres lebih awal
Techno.id - Para peneliti mengungkapkan bahwa mereka telah menemukan bagian kecil di dalam otak manusia yang ternyata dapat membantu memprediksi stres, depresi, atau kecemasan lebih awal. Bagian kecil ini dinamai amygdala, yaitu sekelompok saraf yang terletak cukup dalam di bagian otak manusia atau makhluk vertebrata lainnya.
Peneliti juga mengklaim bahwa stres, depresi, atau kecemasan pada manusia bahkan hingga empat tahun ke depan dapat diprediksi lebih awal hanya dengan menganalisa aktivitas bagian otak yang berbentuk seperti kacang almond ini. Seperti yang telah dipublikasikan jurnal Neuron bahwa dengan menganalisa aktivitas amygdala, peneliti dapat mengarahkan tentang bagaimana cara mengobati depresi atau kecemasan serta melakukan pencegahan.
-
Waspada stres berlebihan bisa merusak otak kamu lho, nggak percaya? Stres ternyata punya dampak berlebih pada otak kita.
-
5 Alasan tertawa membantumu mengusir stres Paling tidak, tertawa membantumu mengalihkan perhatian dari masalah.
-
Bantu menghilangkan stres, 9 makanan ini bisa bikin tubuh dan pikiran tenang Kamu bisa menjaga kesehatan mental dengan mengonsumsi makanan tertentu secara rutin.
"Hal yang sering terjadi adalah manusia biasanya hanya terdorong untuk mulai mengkonsumsi obat ketika mereka telah mengalami depresi di tingkat yang telah memprihatinkan sehingga memaksa mereka untuk berobat ke klinik," ujar Johnna Swartz dari Universitas Duke yang juga memimpin penelitian ini.
"Dengan menganalisa sekelompok saraf ini, kami dapat menyarankan orang-orang yang sedang mengalami depresi untuk segera berkonsultasi sebelum depresi tersebut berubah menjadi semakin buruk," lanjutnya.
Dalam mempelajari amygdala dan untuk mendapatkan hasil penelitian yang valid, penelitian ini dalam studi kasusnya menggunakan manusia dengan latar belakang yang berbeda-beda sebagai objek.
Penelitian tahap awal dilakukan kepada objek manusia dengan latar belakang aktivitas yang sangat rentan dengan resiko post-traumatic stress disorder (PTSD) seperti seorang tentara yang ditugaskan di medan perang. Penelitian tahap kedua dilakukan kepada manusia dengan aktivitas atau kegiatan dengan tingkat depresi yang lebih rendah seperti pengangguran, perceraian, atau kematian anggota keluarga.
Dalam melakukan penelitian ini, penelitian menggunakan teknik pemindai Functional Magnetic Resonance Imaging (FMRI), yaitu teknik penggambaran aktivasi otak dengan jenis yang berbeda dari sensasi fisik (penglihatan, suara, sentuhan). Penelitian ini melibatkan 753 peserta dengan kurun waktu hingga empat tahun.
Metode yang digunakan adalah peserta diberikan survei online setiap tiga bulan sekali setelah melakukan proses pemindai. Hasil survei tersebut nantinya akan digunakan untuk mendokumentasikan peristiwa kehidupan yang mengakibatkan efek depresi beserta dampaknya, serta beberapa pertanyaan yang bersifat penilaian mengenai gejala depresi berupa kuesioner.
Seiring berjalannya waktu, penelitian menemukan bahwa sebagian besar dari peserta mengalami amygdala yang lebih reaktif pada awal masa studi. Di waktu berikutnya, gejala depresi kian menurun yang disebabkan oleh peserta yang sudah pernah mengalami hal yang sama sebelumnya, sehingga dapat mengantisipasi.
Penelitian juga telah berhasil membuktikan bahwa selain berbagai aktivitas kehidupan, amygdala juga dapat terpicu oleh gambar-gambar yang bersifat menyeramkan atau mengancam dan dapat menimbulkan efek kecemasan, stres, maupun depresi.
"Dibutuhkan waktu hingga empat tahun untuk mengetahui sesuatu yang penting dalam kerentanan psikologis manusia yang diberikan oleh sekelompok saraf di otak (amygdala)," kata Hariri yang berprofesi sebagai seorang profesor psikologi dan ilmu saraf Duke Institute for Brain Sciences.